Kau akan tahu
bagaimana kerasnya hidup ini setelah kau beranjak dewasa, lebih tepatnya
ketika kau lulus. Baik setelah kau kuliah, atau mendapat pekerjaan,
atau menjadi pengangguran sekalipun. Masalah tidak akan henti-hentinya
datang, benar-benar mengujimu dari sisi tersembunyi yang tidak bisa
dilihat oleh siapapun kecuali dirimu sendiri, sementara paras-parasnya
terlihat sedikit dimata panca orang lain. Maslaah itu tidak hanya
semata-mata muncul karena ingin mengujimu tapi masalah muncul untuk
kebaikanmu. Dari pusing sampai tertawa karena ternyata kau bisa
menyelesaikannya, entah dalam jangka waktu pendek atau lama. Yang pasti
masalah tersebut pasti terselesaikan dengan caramu, dengan bantuan orang
lain, atau hanya Tuhan yang bagaimana kau bisa menyelesaikannya.
Dulu sejenak saat otakku masih berada dalam suatu wadah yang lumayan cukup longgar, gelap, dan banyak suara-suara yang menggelisahkan. Suara-suara itu bagaikan suatu pengaruh besar yang bisa mengubahmu, merubah setiap kontanitas yang telah ada, dan mungkin suara-suara itu yang menginginkan otakmu meledak hari itu juga saat suara itu datang, mengganggumu, membuatmu kacau, sampai bahkan menangis tersedu-sedu karena ketakutan atau sesuatu yang tidak kau ketahui penyebabnya begitu pagi datang atau setelah kau berhenti menangis. Aku berfikir bahwa sebagai seorang pengangguran –sejak lulus tidak ada satupun pekerjaan yang mau berhadapan denganku–, semua orang bahagia kecuali para pengangguran yang merasa sendirian dan terpuruk seperti otak yang kukatakan berada dalam suatu wadah yang longgar, dan pengangguran yang lainnya mungkin bahagia karena mereka bersama orang lain, tapi aku tidak bersama siapa-siapa jadi bisa dibilang aku tidak bahagia. Aku berpikir seperti itu dan sering terpuruk, sering pula menangis, dan sering pula terkadang ingin mati karena otakku buntu oleh suara-suara semalam yang kudengarkan dan berlalu begitu pagi datang.
Adakah sesuatu yang bisa mengubahku berhenti berpikir seperti itu ? Ada. Tentu saja ada. Waktu yang akan menjawab, dan tentu waktu menjawab setelah aku cukup siap.
Awalnya para teman-temanku yang kuliah atau sudah bekerja merasa dirinya bahagia seperti dugaanku yang pertama, mereka tidak memiliki beban kecuali mereka sendiri yang membuat hidup mereka terbebani. Sebagian besar dari mereka membebani pikiran mereka dengan orang lain, orang yang menurut istilah mereka adalah orang yang mereka cintai, –tapi kalau mereka mencintainya kenapa mereka dibuat terbebani dan sekonyong-konyongnya menangis kegirangan karena sakit hati. Kemudian semua itu berangsur tidak lebih dari satu bulan.
Mereka mulai mengeluh, mereka yang kuliah ingin segera lulus atau malahan menyesal telah kuliah atau memilih jurusan tersebut atau juga berkuliah di universitas tersebut. Mereka yang bekerja menyesal kenapa mereka bekerja di tempat tersebut, dibidang yang tidak mereka ketahui, yang tidak mereka kuasai; dan sebagian dari mereka yang sebenarnya masih memiliki keinginan berkuliah bersumpah mati-matian menyesal karena tidak berkuliah tapi malah memilih bekerja. ‘Semoga tahun depan aku bisa kuliah, amin’. Amin. Itulah doa golongan terakhir.
Dan kalau digolongkan aku adalah golongan yang terakhir, menyesal kenapa saat ini aku masih menganggur dan bukannya duduk dibangku perkuliahan, mendengarkan dosen, mengantuk, bosan, dan acuh tak acuh. Hahaha. Saat ini bukan itu yang kupikirkan. Aku hanya ingin kuliah, melewatkan hari-hariku sebagai mahasiswa dan seandainya aku berani aku akan bersumpah seandainya kesempatan itu kudapatkan aku tidak akan menyia-nyiakannya. Dan kau tahu apa yang kulakukan kemarin, aku meguliahi temanku agar tidak menyiakan kesempatan emas mereka yang bisa kuliah tanpa harus bersusah payah sepertiku memikirkan bagaimana caranya mencari uang, kuliah di luar kota, dan mendapat restu orang tua. Dan beberapa waktu yang lalu kupasang status dan mengomentari status-status teman-temanku yang mengeluah karena perkuliahannya menyibukkan, aku ingin mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan mereka dan menyelamati betapa beruntungnya mereka bisa kuliah sekarang.
Kembali pada masalah kerasnya hidup.
Pada minggu-minggu selanjutnya sampai pada bulan selanjutnya, aku yang masih pengangguran dan masih sering –dan selalu mengeluh karena aku masih pengangguran mendengarkan keluhan, ehm…bukan keluhan semacam tindakan yang akan mereka lakukan selanjutnya. Mereka tertekan dan akan segera keluar dari pekerjaan mereka, alasannya seperti yang kupaparkan tersebut di atas, ini dan itu. Alasan mereka masuk akal, dan aku mulai merubah sepersekian kecil persen pikiranku yang dulu. Ternyata bukan hanya pengangguran, tetapi orang yang sudah mendapat pekerjaan dan mendapat gaji besarpun juga mengeluh. Ya, mungkin inilah hidup. Yang ini minta yang itu, dan yang itu minta yang ini. Kita sebagai manusia sadar atau tidak selalu merasa kurang, menyalahkan Tuhan, meminta lagi, dan tidak pernah bosa meminta lagi. Kalau aku sering menyadarinya karena aku adalah manusia dan itu adalah sifat mutlak manusia. Kira-kira siapa di dunia ini yang tidak ingin sesuatu yang lebih baik ?
Dan sedangkan yang berkuliah mereka masih mengeluh karena pada dasarnya pilihan mereka yang mutlak, mereka baru melangkah jadi tidak mungkin mundur, lagipula mereka beruntung dan dengan bantuan Tuhan mereka pasti masih bisa mengatasinya. Ilmu seperti logika yang liar, masih bisa diselesaikan dengan cara ini dan itu, dan hanya merek yang bisa menyelesaikannya. Dengan cara apa ? Belajar lagi dan lagi ? Atau, lebih baik dengan cara instan, menyontek, merepek, mencuri buku orang lain, menyalinnya ? Hanya Tuhan yang tahu dan itu kehendak-Nya.
Waktu masih berjalan dan mustahil bisa berhenti kecuali kiamat datang. Teman-temanku telah melakukan tindakan extream, mereka resign dengan alasan yang sama tapi mencapai pada level mengeluh tingkat kematian, tingkat akhir yang sudah tidak ditanggulangi lagi. ‘Pekerjaan itu benar-benar tidak cocok untukku. Terlalu A dan B. Seandainya masih Z aku masih bisa, tapi A bisa membuatku meledak’
Apakah itu bukti lagi ? Tidak itu adalah kenyataan alami dan mungkin Tuhan telah bosan melihat, mendengar, menanggapi –atau bahkan tidak ditanggapi lagi karena terlalu sering dan membosankan melihat makhluk-Nya yang jumlahnya melebih kaki-kaki kelabang (kaki seribu) itu seperti itu.
Tapi bagiku ini adalah bukti, bukti nyata bahwa semua orang memiliki masalah, hidup memang berat ketika bayi menjadi dewasa. Kenapa aku menyebutnya bayi ? Karena manusia memang seperti bayi, mereka menangis setiap kali Tuhan menangguhkan doanya, sama seperti bayi yang tidak diberi asi oleh ibunya karena baru beberapa menit lalu ia meminum asi dan tidak lama kemudian memintanya lagi setelah menyia-nyikannya hingga ibunya lelah. Manusia selalu manja dengan dirinya sendiri, membiasakan hidup mereka seperti baru lahir, merengek, tersenyum setelah diberi yang dimau, lalu membuangnya ketika mereka bosan. Semudah itukah manusia memanfaatkan inisialnya sebagai manusia ? Entahlah, analisisku belum sejauh itu.
Sampai pada tahap sejauh ini aku menulis, satu pemikiran tiba-tiba muncul dan aku masih mempertimbangkan. Apakah hidup ini berat ? Atau apakah manusia yang membuatnya menjadi berat ? Kehidupan memang rumit, maka dari itu rasanya berat.
Semoga ini bisa menjadi pertimbangan bagi kita yang manusia untuk menjadi makluk yang lebih baik dan rasional dengan pemikiran-pemikiran logis tetapi tetap memakai kaidah-kaidah iman yang kuat.
Dulu sejenak saat otakku masih berada dalam suatu wadah yang lumayan cukup longgar, gelap, dan banyak suara-suara yang menggelisahkan. Suara-suara itu bagaikan suatu pengaruh besar yang bisa mengubahmu, merubah setiap kontanitas yang telah ada, dan mungkin suara-suara itu yang menginginkan otakmu meledak hari itu juga saat suara itu datang, mengganggumu, membuatmu kacau, sampai bahkan menangis tersedu-sedu karena ketakutan atau sesuatu yang tidak kau ketahui penyebabnya begitu pagi datang atau setelah kau berhenti menangis. Aku berfikir bahwa sebagai seorang pengangguran –sejak lulus tidak ada satupun pekerjaan yang mau berhadapan denganku–, semua orang bahagia kecuali para pengangguran yang merasa sendirian dan terpuruk seperti otak yang kukatakan berada dalam suatu wadah yang longgar, dan pengangguran yang lainnya mungkin bahagia karena mereka bersama orang lain, tapi aku tidak bersama siapa-siapa jadi bisa dibilang aku tidak bahagia. Aku berpikir seperti itu dan sering terpuruk, sering pula menangis, dan sering pula terkadang ingin mati karena otakku buntu oleh suara-suara semalam yang kudengarkan dan berlalu begitu pagi datang.
Adakah sesuatu yang bisa mengubahku berhenti berpikir seperti itu ? Ada. Tentu saja ada. Waktu yang akan menjawab, dan tentu waktu menjawab setelah aku cukup siap.
Awalnya para teman-temanku yang kuliah atau sudah bekerja merasa dirinya bahagia seperti dugaanku yang pertama, mereka tidak memiliki beban kecuali mereka sendiri yang membuat hidup mereka terbebani. Sebagian besar dari mereka membebani pikiran mereka dengan orang lain, orang yang menurut istilah mereka adalah orang yang mereka cintai, –tapi kalau mereka mencintainya kenapa mereka dibuat terbebani dan sekonyong-konyongnya menangis kegirangan karena sakit hati. Kemudian semua itu berangsur tidak lebih dari satu bulan.
Mereka mulai mengeluh, mereka yang kuliah ingin segera lulus atau malahan menyesal telah kuliah atau memilih jurusan tersebut atau juga berkuliah di universitas tersebut. Mereka yang bekerja menyesal kenapa mereka bekerja di tempat tersebut, dibidang yang tidak mereka ketahui, yang tidak mereka kuasai; dan sebagian dari mereka yang sebenarnya masih memiliki keinginan berkuliah bersumpah mati-matian menyesal karena tidak berkuliah tapi malah memilih bekerja. ‘Semoga tahun depan aku bisa kuliah, amin’. Amin. Itulah doa golongan terakhir.
Dan kalau digolongkan aku adalah golongan yang terakhir, menyesal kenapa saat ini aku masih menganggur dan bukannya duduk dibangku perkuliahan, mendengarkan dosen, mengantuk, bosan, dan acuh tak acuh. Hahaha. Saat ini bukan itu yang kupikirkan. Aku hanya ingin kuliah, melewatkan hari-hariku sebagai mahasiswa dan seandainya aku berani aku akan bersumpah seandainya kesempatan itu kudapatkan aku tidak akan menyia-nyiakannya. Dan kau tahu apa yang kulakukan kemarin, aku meguliahi temanku agar tidak menyiakan kesempatan emas mereka yang bisa kuliah tanpa harus bersusah payah sepertiku memikirkan bagaimana caranya mencari uang, kuliah di luar kota, dan mendapat restu orang tua. Dan beberapa waktu yang lalu kupasang status dan mengomentari status-status teman-temanku yang mengeluah karena perkuliahannya menyibukkan, aku ingin mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan mereka dan menyelamati betapa beruntungnya mereka bisa kuliah sekarang.
Kembali pada masalah kerasnya hidup.
Pada minggu-minggu selanjutnya sampai pada bulan selanjutnya, aku yang masih pengangguran dan masih sering –dan selalu mengeluh karena aku masih pengangguran mendengarkan keluhan, ehm…bukan keluhan semacam tindakan yang akan mereka lakukan selanjutnya. Mereka tertekan dan akan segera keluar dari pekerjaan mereka, alasannya seperti yang kupaparkan tersebut di atas, ini dan itu. Alasan mereka masuk akal, dan aku mulai merubah sepersekian kecil persen pikiranku yang dulu. Ternyata bukan hanya pengangguran, tetapi orang yang sudah mendapat pekerjaan dan mendapat gaji besarpun juga mengeluh. Ya, mungkin inilah hidup. Yang ini minta yang itu, dan yang itu minta yang ini. Kita sebagai manusia sadar atau tidak selalu merasa kurang, menyalahkan Tuhan, meminta lagi, dan tidak pernah bosa meminta lagi. Kalau aku sering menyadarinya karena aku adalah manusia dan itu adalah sifat mutlak manusia. Kira-kira siapa di dunia ini yang tidak ingin sesuatu yang lebih baik ?
Dan sedangkan yang berkuliah mereka masih mengeluh karena pada dasarnya pilihan mereka yang mutlak, mereka baru melangkah jadi tidak mungkin mundur, lagipula mereka beruntung dan dengan bantuan Tuhan mereka pasti masih bisa mengatasinya. Ilmu seperti logika yang liar, masih bisa diselesaikan dengan cara ini dan itu, dan hanya merek yang bisa menyelesaikannya. Dengan cara apa ? Belajar lagi dan lagi ? Atau, lebih baik dengan cara instan, menyontek, merepek, mencuri buku orang lain, menyalinnya ? Hanya Tuhan yang tahu dan itu kehendak-Nya.
Waktu masih berjalan dan mustahil bisa berhenti kecuali kiamat datang. Teman-temanku telah melakukan tindakan extream, mereka resign dengan alasan yang sama tapi mencapai pada level mengeluh tingkat kematian, tingkat akhir yang sudah tidak ditanggulangi lagi. ‘Pekerjaan itu benar-benar tidak cocok untukku. Terlalu A dan B. Seandainya masih Z aku masih bisa, tapi A bisa membuatku meledak’
Apakah itu bukti lagi ? Tidak itu adalah kenyataan alami dan mungkin Tuhan telah bosan melihat, mendengar, menanggapi –atau bahkan tidak ditanggapi lagi karena terlalu sering dan membosankan melihat makhluk-Nya yang jumlahnya melebih kaki-kaki kelabang (kaki seribu) itu seperti itu.
Tapi bagiku ini adalah bukti, bukti nyata bahwa semua orang memiliki masalah, hidup memang berat ketika bayi menjadi dewasa. Kenapa aku menyebutnya bayi ? Karena manusia memang seperti bayi, mereka menangis setiap kali Tuhan menangguhkan doanya, sama seperti bayi yang tidak diberi asi oleh ibunya karena baru beberapa menit lalu ia meminum asi dan tidak lama kemudian memintanya lagi setelah menyia-nyikannya hingga ibunya lelah. Manusia selalu manja dengan dirinya sendiri, membiasakan hidup mereka seperti baru lahir, merengek, tersenyum setelah diberi yang dimau, lalu membuangnya ketika mereka bosan. Semudah itukah manusia memanfaatkan inisialnya sebagai manusia ? Entahlah, analisisku belum sejauh itu.
Sampai pada tahap sejauh ini aku menulis, satu pemikiran tiba-tiba muncul dan aku masih mempertimbangkan. Apakah hidup ini berat ? Atau apakah manusia yang membuatnya menjadi berat ? Kehidupan memang rumit, maka dari itu rasanya berat.
Semoga ini bisa menjadi pertimbangan bagi kita yang manusia untuk menjadi makluk yang lebih baik dan rasional dengan pemikiran-pemikiran logis tetapi tetap memakai kaidah-kaidah iman yang kuat.
NB : Kalo ada salah kata atau gak nyambung harap maklum . Maklum belum di edit sama sekali . Sorry !! ^_^