Disuatu sore yang dingin karena sisa-sisa hujan yang
masih kentara di jalanan, aku berpikir sambil memandangi awan hitam dilangit
dari jendela kamar.
Entah kenapa aku mau menjalani
hidup seperti ini, bahkan aku telah bertahan hingga sejauh ini pula. Memang
aneh ketika menyadarinya, namun terasa normal saat semua pemikiran
tersingkirkan. Ya, ya, tentu semuanya akan baik-baik saja seandainya aku tidak
tahu apa-apa, tapi, sayangnya aku sudah terlanjur tahu semuanya dan harus
bersikap normal sekalipun kesadaran mencuat hingga kedasar hatiku.
“Geu namjareul joahaeyo ?”
teringat pertanyaan seorang sahabat sekaligus teman dekatnya, Chanyeol.
Tentu saja aku menyukainya, malahan
aku terkagum-kagum oleh sosok yang selalu menjaga perasaanku disaat-saat
tertentu, tapi sebenarnya itu tidak sepenuhnya berhasil karena semua itu
percuma. Apapun yang dilakukannya saat itu tidak berarti apapun untuk hatiku.
Sekalipun tiba-tiba melihatnya bersama orang lainpun mungkin aku hanya akan
shock, lalu semua itu akan menguap dengan sendiri dalam waktu singkat.
Seandainya di masa kini ada yang
bertanya apakah aku mencintai seorang pria yang kini menyandang status
berpacaran denganku itu, mungkin aku akan menjawabnya dengan penuh keyakinan, “Ne, mullon imnida.”
Pada dasarnya aku telah tahu apa
yang membedakan antara suka dan cinta. Suka lebih terkesan menggebu-gebu
–mungkin lebih kearah obsesi; sementara cinta lebih seperti memberi tanpa
imbalan, seperti sukarelawan. Dan dikedua perbedaan tersebut kebanyakan
terselip kata sayang sebagai pelengkap, bisa diartikan sebagai tindakan.
Contohnya seperti pelukan dan ciuman di kening.
Tetapi sebenarnya yang kupikirkan
bukanlah perasaanku, melainkan realitas kehidupan dampak dari perasaan
tersebut. Aku mencintainya dan iapun menjadi kekasihku. Masalah apakah dia juga
mencintaiku adalah nomor 2. Kenyataannya sekalipun hubungan kami harmonis
–dalam artian hampir tidak ada perselisihan dan hampir semua masalah
terkondisikan, ada seseorang didekatku yang ada disampingnya. Bukan perselingkuhan
karena aku tahu terang-terangan. Seandainya ini pernikahan istilah tepatnya
adalah poligami. Aku tahu Kris –kekasihku memiliki kekasih lain dan kekasihnya,
Lay juga tahu kalau aku adalah kekasih Kris. Ah, aku bingung bagaimana
mengutarakannya, intinya kami tahu satu sama lain.
Dan yang paling penting dari
hubunganku dengan Kris, dia memperlakukanku sebagaimana ia harus melakukan
kekasihnya. Ia melindungiku, memiliki banyak waktu untukku, dan dia tahu apa
yang membuatku senang ataupun tidak. Begitu pula caranya memperlakukan Lay.
Kris memang tipikal pria idealis secara objektif.
Disamping itu aku juga heran
bagaimana bisa kehidupanku berjalan seperti ini. Ketika Kris dan Lay pergi
bersama sementara aku berada diantaranya. Lalu saat aku harus mengalah ketika
Lay membutuhkan Kris, atau saat Lay mengajakku berkencan dan anehnya aku mau,
dan saat kegilaan mereka mulai kumat.
Bahkan bukan hanya aku saja yang
merasa gila karena kisah ini, pihak-pihak tertentu yang tahu betul bagaimana
kisah ini terjadi juga jadi ikut gila memikirkannya; seperti Chanyeol, Luhan,
dan Min Seok. Terkadang mereka sampai kebingungan sendiri, satu waktu mereka
pernah berencana memisahkan Kris dan Lay, dan pada lain waktu mereka malah
berencana membawa kami semua kerumah sakit jiwa.
***
ada suatu malam ketika kami –hanya aku dan Kris
pergi makan malam, aku menyinggung masalah hubungan kami, dan Kris meresponnya,
“Apa kau memintaku untuk memilih ?” Padahal sebenarnya tujuanku hanya ingin
tahu tanggapannya, tapi tetap saja kepalaku mengangguk.
Kris menghela napas panjang sambil
enggan menatapku. “Aku tahu suatu hari nanti kau pasti akan menanyakannya, dan
ternyata suatu hari nanti itu adalah sekarang. Menurutmu siapa yang harus
kupilih ?”
Mataku terbelalak mendengarnya. “Nugu ?”
kataku keheranan. “Mollayo.
Aku juga tidak tahu apakah selama ini kau benar-benar menyukaiku atau tidak.”
Aku sengaja mengutarakannya karena dia berhak tahu tentang isi pemikiranku
selama ini, ya sekalipun menjadi nomor 2.
Ia mengangkat kepalanya untuk
menatapku. “Jadi selama ini kau tidak yakin ?”
Aku hanya mengedipkan mata sambil
bertopang dagu.
Salah satu alisnya terangkat. Kali
ini ia mendengus pelan sambil memalingkan wajah lagi keluar jendela. “Jujur,
aku tidak tahu siapa yang harus kupilih, kau atau Lay. Tapi kalau kau memang
menginginkan jawaban itu sekarang,” suaranya melemah. “Baiklah. Aku akan
menjawabnya,” kemudian nadanya berubah menjadi yakin.
Tubuhku mulai membeku ditempat,
secercah kekhawatiran membuat bibirku gemeteran. Aku takut kalau-kalau jawabannya
tidak memuaskan. Haruskah aku menghentikannya ? pikirku.
“Saranghaeyo,”
matanya kembali beralih ke mataku, ada kecanggungan ketika salah satu tangannya
berada diatas meja. “Aku terobsesi dengan kepribadianmu dan lama kelamaan aku
sadar aku telah menyukaimu kelewat batas sampai akhirnya aku benar-benar
mencintaimu, dan…” kalimatnya mengantung.
Terlihat ada genangan dipelupuk
matanya.
“Dan…” ia masih mengantungkan
kalimatnya. Sampai beberapa detik kemudian air matanya mulai berjatuhan. “Dan
aku juga mencintai Lay tapi aku tidak tahu harus bagaimana,” lanjutnya,
tertunduk, air matanya semakin berderai.
Aku juga ikut menundukkan kepala,
berusaha menyembunyikan rasa bersalah atas sesuatu yang tadinya tidak
kuhendaki.
“Mianhae,”
Kris masih menangis sambil tertunduk. “Aku tidak pernah bermaksut
mempermainkanmu atau seperti yang teman-temanmu bilang kalau aku menjadikanmu
sebagai kedok saja, semua itu tidak benar. Aku bersumpah ketika mengutarakan
perasaanku dan memintamu menjadi kekasihku dulu karena aku benar-benar
mencintaimu,” jelasnya dengan tangis yang semakin menjadi-jadi.
Aku beranjak dari kursiku untuk
berdiri disamping kirinya, menarik tubuhnya kedalam dekapanku, dan
mengelus-elus rambutnya. “Algesseumnida,”
bisikku di pelipis kanannya. “Tapi bagaimanapun kita tidak bisa terus-terusan
seperti ini. Diantara kita seharusnya ada yang memilih, kau atau aku. Kau hanya
punya dua pilihan, aku atau Lay; dan kalau untukku, berhenti atau bertahan.
Tapi jangan libatkan Lay dalam hal ini, kau pasti lebih tahu alasannya.”
Kris melingkarkan tangannya
diperutku, mengeratkannya seakan tidak akan pernah melepaskannya lagi, dan
butiran-butiran hangat yang keluar dari matanya hampir membasahi lengan bajuku
yang kiri. “Aku tidak ingin memberikan pilihan itu untukmu karena aku tahu apa
jawabannya,” suaranya sama seperti tangisnya, tertahan.
***
Lay, dia adalah seorang pria tampan dan pekerja
keras yang pernah kutemui. Memiliki banyak talenta dan tipikal pesimisme. Akan
tetapi semua itu yang membuatku berkeinginan menjadi bagian dari hidupnya, dan
itupun terjadi.
Kami berpacaran selama hampir 2
bulan, lalu kami berpisah karena Lay harus kembali kerumah orangtuanya di Cina.
Saat itu ia sedang sakit dan harus menjalani perawatan disana. Karena sakitnya
cukup parah maka Lay memintaku untuk tidak menunggunya dan kami juga sepakat
untuk putus.
Sebelum Lay pergi, ia pernah
berkata, “Sekalipun nantinya kita tidak berjodoh tapi satu hal yang perlu kau
tahu, kau adalah sosok wanita yang tidak pantas untuk dilupakan. Maaf kali ini
aku menjadi pengecut, tetapi ini adalah yang terbaik, untukmu.”
Satu tahun setelah Lay kembali ke
Cina dan tidak pernah memberi kabar sedikitpun, seorang pria dengan sosok yang
lebih sigap, tampan, dan karismatik datang di kehidupanku. Dia adalah Kris,
seorang mahasiswa pendatang dari Kanada yang berkewarganegaraan Cina. Awalnya
status kewarganegaraannya itu yang membuatku tertarik ingin mengenalnya lebih
dekat, terlebih aku berharap Kris mengenal Lay. Namun kemudian aku jadi semakin
tertarik kepadanya semenjak kusadari Kris adalah Lay, maksutku ada Lay didalam
diri Kris.
Yang membedakan antara mereka
berdua hanyalah sudut pandang mereka mengenai destiny. Kalau Lay percaya takdir bisa dikendalikan dengan
perjuangan, sedangkan Kris lebih percaya pada keberuntungan yang akan
mengarahkan takdir tersebut secara alami. Selepas dari itu perbedaan mereka
semakin mencolok dan menyadarkanku bahwa mereka adalah dua insan yang berbeda,
hal itu kusadari ketika kami mulai berpacaran.
Ketika bayang-bayang Lay hampir
menghilang dan tergantikan oleh sosok Kris, tiba-tiba Lay datang sebagai orang
yang sangat akrab dengan Kris. Pertama kali melihatnya saat mereka pergi makan
malam disuatu restorant dekat rumahku. Karena sangat penasaran aku menghampiri
mereka dan Kris memperkenalkanku sebagai kekasihnya.
Saat itu aku melihat ekspresi Lay
biasa saja, seolah memang aku yang sedang ia tunggu-tunggu setelah Kris
bercerita panjang lebar mengenai kekasihnya. Dia tersenyum lebar sembari
berkata, “Eurenmani.”
Kris menatapku dan Lay bergantian,
mungkin ia terkejut karena Lay mengisyaratkan seolah kami pernah bertemu sebelumnya.
Kemudian Lay bercerita singkat
kepada Kris kalau sebenarnya kami sudah kenal, tapi dia tidak mengatakan soal
hubungan yang pernah ada diantara kami berdua. Barangkali ia tidak ingin
mengecewakan Kris.
Sejak itu aku dan Lay tidak pernah
memiliki kesempatan berbicara mengenai masa lalu dan apa yang pernah terjadi
diantara kami, –sekalipun terkadang kami memiliki kesempatan hanya berdua,
kurasa Lay juga tidak pernah mengungkitnya.
***
Angin berhembus terlalu kencang pada malam pertama
di bulan Maret. Suara desirannya yang membebaskan suasana dari keheningan.
Semua mulut telah terkunci rapat setelah mereka
–Luhan, Chanyeol, serta Min Seok mengungkap kebenaran yang selama ini
terjadi dan tidak pernah kuduga sebelumnya. Raut wajah mereka tampak merasa bersalah
karena telah membuatku tertegun kebingungan.
Mereka
tidak bersalah, dalam hati aku meyakininya. Hanya saja
kali ini mereka telat. Disaat hubunganku berjalan terlalu jauh, serta kupikir
pertemanan antara Lay dan Kris normal, mereka baru mengungkapkan bahwa ada
sesuatu tak wajar diantara mereka berdua. Bahkan ternyata hal itu dimulai saat
keduanya masih sama-sama berada di Cina. Aku tidak tahu kapan tepatnya, mungkin
sebelum Lay mengenalku.
Sekalipun tampaknya semua yang
telah mereka katakan sangat mustahil, tapi aku tidak berusaha menyangkalnya.
Aku tidak tahu kenapa bisa begitu.
Beberapa hari setelah
mengetahuinya, aku baru memutuskan untuk menanyakannya langsung kepada Kris,
dan secara to do point ia mengiyakannya.
Tentu saja pengakuannya itu sangat
menyakitkan dan memberatkan hubungan kami. Sekalipun kemudian Lay tahu bahwa
hubungan mereka telah terbongkar, tapi tetap saja tidak ada keputusan untuk
menengahi masalah ini, yang kami lakukan selanjutnya hanya menjalani drama
ironi sebagaimana alam menginginkannya tanpa penjelasan apapun dari
masing-masing pihak. Hubunganku dan Kris tetap berjalan seperti sebelumnya, dan
begitu pula dengan hubungan Kris dan Lay.
Malahan kami sering pergi
bersama-sama dengan suasana yang menurutku agak aneh karena perhatian kami
menjadi terbagi-bagi secara alami. Selain memberikan perhatian kepada Kris, aku
juga memberikan perhatian kepada Lay. Begitu pula yang terjadi terhadap mereka
berdua. Kris memberikan perhatiannya kepadaku dan Lay, dan Lay memberikan
perhatiannya kepadaku dan Kris.
Seandainya seseorang mengetahui hal
yang sebenarnya mungkin orang tersebut akan mengatakan kami bodoh dan gila.
Apalagi jika mereka tahu apa yang selanjutnya terjadi antara aku dan Lay,
sesekali kami berkencan tanpa sepengetahuan Kris. Ini memang gila tapi
beginilah realita yang ada. Kejadian demi kejadian yang terjadi dihidupku
bagaikan kejutan di hari ulang tahun, tak terduga dan menyenangkan tetapi
beresiko.
Beresiko karena waktu tidak hanya
sekedar berputar dan menyaksikan, waktu memiliki rencana bagaimana ia harus
berperan hingga membuatnya terkesan.
***
Kris belum mau berhenti menangis
dipelukanku, ia masih tersedu-sedu seperti anak kecil menangis dipelukan ibunya
karena baru kehilangan mainan. Tapi bukan berarti Kris baru kehilangan mainan
atau sesuatu, baru saja ia mengoceh tak karuan mengutarakan perasaannya tanpa
perduli dimana ia berada. Untungnya malam ini restorant tempat kami makan
sedang sepi, lagipula suara Kris teredam jadi tidak mungkin terdengar oleh
siapapun. Sedangkan aku hanya terdiam mendengarkan sambil sesekali mencium
aroma rambut di kepalanya.
“Mianhae,” seseorang mengejutkanku. “Maaf membuat hidup kalian
menjadi seperti ini,” orang itu adalah Lay. Ketika menyadarinya ia sudah ada
disamping kananku dengan ransel di punggungnya.
Kris melepaskan pelukkannya dari
tubuhku untuk melihat siapa yang datang. Kris menatap Lay dengan mata basah
karena air matanya masih berderai. Lalu Kris cepat-cepat mengusap wajahnya
dengan kedua telapak tangan.
“Maafkan aku Sin, maafkan aku Kris,”
semburat senyum terpaksa muncul dicelah kecanggungan Lay.
“Gwaenchana,”
jawabku, merenggangkan tubuhku menghadap kearahnya. “Ini sudah terjadi dan
berlalu,” tambahku dengan nada lirih.
Mulut Lay terkatup-katup, mungkin
kata-katanya tercekat.
Kris masih terdiam dikursinya
sambil sibuk mengatur ekspresi dan perasaannya yang sedang amburadul.
“Gumawo,”
Lay mengatakannya dengan gelisah. “Kali ini aku tidak bisa berlama-lama berada
disini karena sebentar lagi aku harus segera pergi.”
Kris mengangkat kepala dengan
ekspresi kaget. “Eodi gago sipeoyo ?”
meski nadanya menyentak tapi kelihatan sekali kalau Kris sangat khawatir.
Lay kembali berusaha mengumbar
senyum. “Cina,” singkatnya sambil mengeratkan pegangan ransel dipunggungnya.
“Aku harus menjalani pengobatan dan terapi lagi,” Lay berkata dengan cepat saat
Kris membuka mulut, –barangkali Kris ingin menghadangnya.
Kris menelan ludah dengan wajah
tegang. Aku bisa merasakannya hingga tubuhku ikut menegang dan terasa kaku.
Sakitnya belum juga sembut, batinku, miris membayangkan saat-saat sulit yang
pernah ia lalui dulu.
“Ada satu hal yang ingin kukatakan
kepadamu Kris.”
Kris menarik napas dalam-dalam.
“Ini soal aku dan Sin,” mendadak
lututku melemas, rasanya aku tidak sanggup menopang badanku sendiri, tapi aku
tetap berdiri menunggu Lay melanjutkan. “Sebenarnya orang yang pernah
kuceritakan kepadamu dulu itu dia, –Sin. Dia yang pernah membuat hidupku
menjadi normal. Aku tidak menyangkan kalau ternyata dia juga melakukan hal yang
sama terhadap hidupmu sekarang. Sin memang bukan wanita biasa, ternyata dia
mampu merubah hidup kita, tentunya menjadi lebih baik.
“Dan, Sin. Kau harus percaya apa
yang telah Kris katakan tadi. Kenyataan kalau dia bilang dia mencintaimu karena
selama ini yang kulihat memang begitu, dan kau pasti tidak menyangka kalau Kris
lebih memilihmu daripada aku. Mulai detik ini Kris milikmu seutuhnya, dan kau
tidak perlu memikirkanku ataupun perasaanku. Aku telah bertekat untuk melupakan
kenangan masa lalu dan memulai kembali kehidupan normal seperti saat bersamamu
dulu, tapi kali ini bukan bersamamu lagi,” Lay tertawa kecil untuk dirinya
sendiri. “Aku akan kembali ke Cina dan menjalani hidup normal bersama kedua
orangtuaku dan juga saudara-saudaraku.”
“Tenang saja aku tidak akan
melupakanmu,” lagi-lagi Lay mendahului Kris yang baru membuka mulut. “Aku tidak
akan melupakanmu ataupun Sin. Kalian akan selalu ada di memoriku karena kalian
adalah orang-orang yang mustahil untuk dilupakan. Oh ya, dan satu lagi.”
Kedua bola mataku melotot hampir
keluar ketika Lay mendekat kearahku, ada suatu getaran aneh dari hatiku.
Kakinya berhenti tepat satu jengkal di hadapanku, tangannya memegang kedua
pundakku, dan matanya menatapku penuh arti. Sebelum berkata, Lay mengumbar
senyum menawan yang pernah hilang dan baru kutemukan di detik-detik terakhir, “Honestly, you’ve got that something I need,
more than love, more than everything. Only you have it. You’re so special and
amazing, but I’m still losers.” Lalu Lay memelukku dengan erat sebagai
salam perpisahan.
Aku membalas pelukkannya dengan
erat, teringat saat-saat terkahir ketika Lay meninggalkanku beberapa tahun lalu
dan mengatai dirinya sendiri sebagai pengecut. Ini benar-benar akhir kisah yang
menyakitkan, lebih menyakitkan daripada mati. Di saat jalan keluar ditemukan,
perasaanku malah menjadi bimbang, antara perasaanku terhadap Kris atau Lay.
Pelukan ini seolah menghidupkan perasaanku yang dulu pernah ada. Sekarang
giliranku menangis tersedu-sedu dipelukkan Lay.
Kemudian Lay memberi pelukan
persahabatan untuk Kris. “Kali ini aku bersungguh-sungguh. Tidak ada lagi
istilah cinta atau apapun untuk kembali menjadi manusia bodoh dan konyol. Dari
dulu seharusnya kita sadar bahwa apa yang ada dalam diri kita hanyalah kasih
sayang persahabatan, bukan kekonyolan yang telah berakhir. Kau telah
mendapatkannya jadi jangan pernah coba-coba atau aku akan langsung merebutnya,”
Lay melepaskan pelukkannya dan tersenyum kearahku, dan Kris tersedu-sedu lagi.
“Maafkan aku, dulu aku yang
memaksamu dan aku….”
“Ssst…” Lay menghentikan Kris.
“Semua sudah berlalu. Masa depanmu ada disampingmu,” Lay menarik tanganku dan
menyatukannya dengan tangan Kris. “Kau bersalah di masa lalu, jadi perbaikilah
di masa depan dengan orang yang telah banyak berkorban dihidupmu.”
Dengan berlalunya masa lalu Kris
dan Lay, maka berlalu pula masa laluku bersama Lay. Yang dikatakan Lay memang
benar, kami hidup dari masa lalu untuk masa depan. Hidup kami tidak akan
menjadi lebih baik seandainya kami tidak pernah melakukan kesalahan. Masa lalu
yang membuat kami belajar menjadi lebih baik, karena masa lalu yang akan
mengingatkan bagaimana kesalahan itu terjadi sehingga tidak akan lagi terulang
di masa yang akan datang.