Senin, 04 Maret 2013

Memorabilis[1]


Disuatu sore yang dingin karena sisa-sisa hujan yang masih kentara di jalanan, aku berpikir sambil memandangi awan hitam dilangit dari jendela kamar.
Entah kenapa aku mau menjalani hidup seperti ini, bahkan aku telah bertahan hingga sejauh ini pula. Memang aneh ketika menyadarinya, namun terasa normal saat semua pemikiran tersingkirkan. Ya, ya, tentu semuanya akan baik-baik saja seandainya aku tidak tahu apa-apa, tapi, sayangnya aku sudah terlanjur tahu semuanya dan harus bersikap normal sekalipun kesadaran mencuat hingga kedasar hatiku.
Geu namjareul joahaeyo ?[2]” teringat pertanyaan seorang sahabat sekaligus teman dekatnya, Chanyeol.
Tentu saja aku menyukainya, malahan aku terkagum-kagum oleh sosok yang selalu menjaga perasaanku disaat-saat tertentu, tapi sebenarnya itu tidak sepenuhnya berhasil karena semua itu percuma. Apapun yang dilakukannya saat itu tidak berarti apapun untuk hatiku. Sekalipun tiba-tiba melihatnya bersama orang lainpun mungkin aku hanya akan shock, lalu semua itu akan menguap dengan sendiri dalam waktu singkat.
Seandainya di masa kini ada yang bertanya apakah aku mencintai seorang pria yang kini menyandang status berpacaran denganku itu, mungkin aku akan menjawabnya dengan penuh keyakinan, “Ne, mullon imnida[3].”
Pada dasarnya aku telah tahu apa yang membedakan antara suka dan cinta. Suka lebih terkesan menggebu-gebu –mungkin lebih kearah obsesi; sementara cinta lebih seperti memberi tanpa imbalan, seperti sukarelawan. Dan dikedua perbedaan tersebut kebanyakan terselip kata sayang sebagai pelengkap, bisa diartikan sebagai tindakan. Contohnya seperti pelukan dan ciuman di kening.
Tetapi sebenarnya yang kupikirkan bukanlah perasaanku, melainkan realitas kehidupan dampak dari perasaan tersebut. Aku mencintainya dan iapun menjadi kekasihku. Masalah apakah dia juga mencintaiku adalah nomor 2. Kenyataannya sekalipun hubungan kami harmonis –dalam artian hampir tidak ada perselisihan dan hampir semua masalah terkondisikan, ada seseorang didekatku yang ada disampingnya. Bukan perselingkuhan karena aku tahu terang-terangan. Seandainya ini pernikahan istilah tepatnya adalah poligami. Aku tahu Kris –kekasihku memiliki kekasih lain dan kekasihnya, Lay juga tahu kalau aku adalah kekasih Kris. Ah, aku bingung bagaimana mengutarakannya, intinya kami tahu satu sama lain.
Dan yang paling penting dari hubunganku dengan Kris, dia memperlakukanku sebagaimana ia harus melakukan kekasihnya. Ia melindungiku, memiliki banyak waktu untukku, dan dia tahu apa yang membuatku senang ataupun tidak. Begitu pula caranya memperlakukan Lay. Kris memang tipikal pria idealis secara objektif.
Disamping itu aku juga heran bagaimana bisa kehidupanku berjalan seperti ini. Ketika Kris dan Lay pergi bersama sementara aku berada diantaranya. Lalu saat aku harus mengalah ketika Lay membutuhkan Kris, atau saat Lay mengajakku berkencan dan anehnya aku mau, dan saat kegilaan mereka mulai kumat.
Bahkan bukan hanya aku saja yang merasa gila karena kisah ini, pihak-pihak tertentu yang tahu betul bagaimana kisah ini terjadi juga jadi ikut gila memikirkannya; seperti Chanyeol, Luhan, dan Min Seok. Terkadang mereka sampai kebingungan sendiri, satu waktu mereka pernah berencana memisahkan Kris dan Lay, dan pada lain waktu mereka malah berencana membawa kami semua kerumah sakit jiwa.
***
ada suatu malam ketika kami –hanya aku dan Kris pergi makan malam, aku menyinggung masalah hubungan kami, dan Kris meresponnya, “Apa kau memintaku untuk memilih ?” Padahal sebenarnya tujuanku hanya ingin tahu tanggapannya, tapi tetap saja kepalaku mengangguk.
Kris menghela napas panjang sambil enggan menatapku. “Aku tahu suatu hari nanti kau pasti akan menanyakannya, dan ternyata suatu hari nanti itu adalah sekarang. Menurutmu siapa yang harus kupilih ?”
Mataku terbelalak mendengarnya. “Nugu ?[4]” kataku keheranan. “Mollayo[5]. Aku juga tidak tahu apakah selama ini kau benar-benar menyukaiku atau tidak.” Aku sengaja mengutarakannya karena dia berhak tahu tentang isi pemikiranku selama ini, ya sekalipun menjadi nomor 2.
Ia mengangkat kepalanya untuk menatapku. “Jadi selama ini kau tidak yakin ?”
Aku hanya mengedipkan mata sambil bertopang dagu.
Salah satu alisnya terangkat. Kali ini ia mendengus pelan sambil memalingkan wajah lagi keluar jendela. “Jujur, aku tidak tahu siapa yang harus kupilih, kau atau Lay. Tapi kalau kau memang menginginkan jawaban itu sekarang,” suaranya melemah. “Baiklah. Aku akan menjawabnya,” kemudian nadanya berubah menjadi yakin.
Tubuhku mulai membeku ditempat, secercah kekhawatiran membuat bibirku gemeteran. Aku takut kalau-kalau jawabannya tidak memuaskan. Haruskah aku menghentikannya ? pikirku.
Saranghaeyo[6],” matanya kembali beralih ke mataku, ada kecanggungan ketika salah satu tangannya berada diatas meja. “Aku terobsesi dengan kepribadianmu dan lama kelamaan aku sadar aku telah menyukaimu kelewat batas sampai akhirnya aku benar-benar mencintaimu, dan…” kalimatnya mengantung.
Terlihat ada genangan dipelupuk matanya.
“Dan…” ia masih mengantungkan kalimatnya. Sampai beberapa detik kemudian air matanya mulai berjatuhan. “Dan aku juga mencintai Lay tapi aku tidak tahu harus bagaimana,” lanjutnya, tertunduk, air matanya semakin berderai.
Aku juga ikut menundukkan kepala, berusaha menyembunyikan rasa bersalah atas sesuatu yang tadinya tidak kuhendaki.
 Mianhae[7],” Kris masih menangis sambil tertunduk. “Aku tidak pernah bermaksut mempermainkanmu atau seperti yang teman-temanmu bilang kalau aku menjadikanmu sebagai kedok saja, semua itu tidak benar. Aku bersumpah ketika mengutarakan perasaanku dan memintamu menjadi kekasihku dulu karena aku benar-benar mencintaimu,” jelasnya dengan tangis yang semakin menjadi-jadi.
Aku beranjak dari kursiku untuk berdiri disamping kirinya, menarik tubuhnya kedalam dekapanku, dan mengelus-elus rambutnya. “Algesseumnida,” bisikku di pelipis kanannya. “Tapi bagaimanapun kita tidak bisa terus-terusan seperti ini. Diantara kita seharusnya ada yang memilih, kau atau aku. Kau hanya punya dua pilihan, aku atau Lay; dan kalau untukku, berhenti atau bertahan. Tapi jangan libatkan Lay dalam hal ini, kau pasti lebih tahu alasannya.”
Kris melingkarkan tangannya diperutku, mengeratkannya seakan tidak akan pernah melepaskannya lagi, dan butiran-butiran hangat yang keluar dari matanya hampir membasahi lengan bajuku yang kiri. “Aku tidak ingin memberikan pilihan itu untukmu karena aku tahu apa jawabannya,” suaranya sama seperti tangisnya, tertahan.
***
Lay, dia adalah seorang pria tampan dan pekerja keras yang pernah kutemui. Memiliki banyak talenta dan tipikal pesimisme. Akan tetapi semua itu yang membuatku berkeinginan menjadi bagian dari hidupnya, dan itupun terjadi.
Kami berpacaran selama hampir 2 bulan, lalu kami berpisah karena Lay harus kembali kerumah orangtuanya di Cina. Saat itu ia sedang sakit dan harus menjalani perawatan disana. Karena sakitnya cukup parah maka Lay memintaku untuk tidak menunggunya dan kami juga sepakat untuk putus.
Sebelum Lay pergi, ia pernah berkata, “Sekalipun nantinya kita tidak berjodoh tapi satu hal yang perlu kau tahu, kau adalah sosok wanita yang tidak pantas untuk dilupakan. Maaf kali ini aku menjadi pengecut, tetapi ini adalah yang terbaik, untukmu.”
Satu tahun setelah Lay kembali ke Cina dan tidak pernah memberi kabar sedikitpun, seorang pria dengan sosok yang lebih sigap, tampan, dan karismatik datang di kehidupanku. Dia adalah Kris, seorang mahasiswa pendatang dari Kanada yang berkewarganegaraan Cina. Awalnya status kewarganegaraannya itu yang membuatku tertarik ingin mengenalnya lebih dekat, terlebih aku berharap Kris mengenal Lay. Namun kemudian aku jadi semakin tertarik kepadanya semenjak kusadari Kris adalah Lay, maksutku ada Lay didalam diri Kris.
Yang membedakan antara mereka berdua hanyalah sudut pandang mereka mengenai destiny. Kalau Lay percaya takdir bisa dikendalikan dengan perjuangan, sedangkan Kris lebih percaya pada keberuntungan yang akan mengarahkan takdir tersebut secara alami. Selepas dari itu perbedaan mereka semakin mencolok dan menyadarkanku bahwa mereka adalah dua insan yang berbeda, hal itu kusadari ketika kami mulai berpacaran.
Ketika bayang-bayang Lay hampir menghilang dan tergantikan oleh sosok Kris, tiba-tiba Lay datang sebagai orang yang sangat akrab dengan Kris. Pertama kali melihatnya saat mereka pergi makan malam disuatu restorant dekat rumahku. Karena sangat penasaran aku menghampiri mereka dan Kris memperkenalkanku sebagai kekasihnya.
Saat itu aku melihat ekspresi Lay biasa saja, seolah memang aku yang sedang ia tunggu-tunggu setelah Kris bercerita panjang lebar mengenai kekasihnya. Dia tersenyum lebar sembari berkata, “Eurenmani[8].”
Kris menatapku dan Lay bergantian, mungkin ia terkejut karena Lay mengisyaratkan seolah kami pernah bertemu sebelumnya.
Kemudian Lay bercerita singkat kepada Kris kalau sebenarnya kami sudah kenal, tapi dia tidak mengatakan soal hubungan yang pernah ada diantara kami berdua. Barangkali ia tidak ingin mengecewakan Kris.
Sejak itu aku dan Lay tidak pernah memiliki kesempatan berbicara mengenai masa lalu dan apa yang pernah terjadi diantara kami, –sekalipun terkadang kami memiliki kesempatan hanya berdua, kurasa Lay juga tidak pernah mengungkitnya.
***
Angin berhembus terlalu kencang pada malam pertama di bulan Maret. Suara desirannya yang membebaskan suasana dari keheningan. Semua mulut telah terkunci rapat setelah mereka  –Luhan, Chanyeol, serta Min Seok mengungkap kebenaran yang selama ini terjadi dan tidak pernah kuduga sebelumnya. Raut wajah mereka tampak merasa bersalah karena telah membuatku tertegun kebingungan.
Mereka tidak bersalah, dalam hati aku meyakininya. Hanya saja kali ini mereka telat. Disaat hubunganku berjalan terlalu jauh, serta kupikir pertemanan antara Lay dan Kris normal, mereka baru mengungkapkan bahwa ada sesuatu tak wajar diantara mereka berdua. Bahkan ternyata hal itu dimulai saat keduanya masih sama-sama berada di Cina. Aku tidak tahu kapan tepatnya, mungkin sebelum Lay mengenalku.
Sekalipun tampaknya semua yang telah mereka katakan sangat mustahil, tapi aku tidak berusaha menyangkalnya. Aku tidak tahu kenapa bisa begitu.
Beberapa hari setelah mengetahuinya, aku baru memutuskan untuk menanyakannya langsung kepada Kris, dan secara to do point ia mengiyakannya.
Tentu saja pengakuannya itu sangat menyakitkan dan memberatkan hubungan kami. Sekalipun kemudian Lay tahu bahwa hubungan mereka telah terbongkar, tapi tetap saja tidak ada keputusan untuk menengahi masalah ini, yang kami lakukan selanjutnya hanya menjalani drama ironi sebagaimana alam menginginkannya tanpa penjelasan apapun dari masing-masing pihak. Hubunganku dan Kris tetap berjalan seperti sebelumnya, dan begitu pula dengan hubungan Kris dan Lay.
Malahan kami sering pergi bersama-sama dengan suasana yang menurutku agak aneh karena perhatian kami menjadi terbagi-bagi secara alami. Selain memberikan perhatian kepada Kris, aku juga memberikan perhatian kepada Lay. Begitu pula yang terjadi terhadap mereka berdua. Kris memberikan perhatiannya kepadaku dan Lay, dan Lay memberikan perhatiannya kepadaku dan Kris.
Seandainya seseorang mengetahui hal yang sebenarnya mungkin orang tersebut akan mengatakan kami bodoh dan gila. Apalagi jika mereka tahu apa yang selanjutnya terjadi antara aku dan Lay, sesekali kami berkencan tanpa sepengetahuan Kris. Ini memang gila tapi beginilah realita yang ada. Kejadian demi kejadian yang terjadi dihidupku bagaikan kejutan di hari ulang tahun, tak terduga dan menyenangkan tetapi beresiko.
Beresiko karena waktu tidak hanya sekedar berputar dan menyaksikan, waktu memiliki rencana bagaimana ia harus berperan hingga membuatnya terkesan.
***
Kris belum mau berhenti menangis dipelukanku, ia masih tersedu-sedu seperti anak kecil menangis dipelukan ibunya karena baru kehilangan mainan. Tapi bukan berarti Kris baru kehilangan mainan atau sesuatu, baru saja ia mengoceh tak karuan mengutarakan perasaannya tanpa perduli dimana ia berada. Untungnya malam ini restorant tempat kami makan sedang sepi, lagipula suara Kris teredam jadi tidak mungkin terdengar oleh siapapun. Sedangkan aku hanya terdiam mendengarkan sambil sesekali mencium aroma rambut di kepalanya.
Mianhae,” seseorang mengejutkanku. “Maaf membuat hidup kalian menjadi seperti ini,” orang itu adalah Lay. Ketika menyadarinya ia sudah ada disamping kananku dengan ransel di punggungnya.
Kris melepaskan pelukkannya dari tubuhku untuk melihat siapa yang datang. Kris menatap Lay dengan mata basah karena air matanya masih berderai. Lalu Kris cepat-cepat mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan.
“Maafkan aku Sin, maafkan aku Kris,” semburat senyum terpaksa muncul dicelah kecanggungan Lay.
Gwaenchana[9],” jawabku, merenggangkan tubuhku menghadap kearahnya. “Ini sudah terjadi dan berlalu,” tambahku dengan nada lirih.
Mulut Lay terkatup-katup, mungkin kata-katanya tercekat.
Kris masih terdiam dikursinya sambil sibuk mengatur ekspresi dan perasaannya yang sedang amburadul.
Gumawo[10],” Lay mengatakannya dengan gelisah. “Kali ini aku tidak bisa berlama-lama berada disini karena sebentar lagi aku harus segera pergi.”
Kris mengangkat kepala dengan ekspresi kaget. “Eodi gago sipeoyo ?[11]” meski nadanya menyentak tapi kelihatan sekali kalau Kris sangat khawatir.
Lay kembali berusaha mengumbar senyum. “Cina,” singkatnya sambil mengeratkan pegangan ransel dipunggungnya. “Aku harus menjalani pengobatan dan terapi lagi,” Lay berkata dengan cepat saat Kris membuka mulut, –barangkali Kris ingin menghadangnya.
Kris menelan ludah dengan wajah tegang. Aku bisa merasakannya hingga tubuhku ikut menegang dan terasa kaku. Sakitnya belum juga sembut, batinku, miris membayangkan saat-saat sulit yang pernah ia lalui dulu.
“Ada satu hal yang ingin kukatakan kepadamu Kris.”
Kris menarik napas dalam-dalam.
“Ini soal aku dan Sin,” mendadak lututku melemas, rasanya aku tidak sanggup menopang badanku sendiri, tapi aku tetap berdiri menunggu Lay melanjutkan. “Sebenarnya orang yang pernah kuceritakan kepadamu dulu itu dia, –Sin. Dia yang pernah membuat hidupku menjadi normal. Aku tidak menyangkan kalau ternyata dia juga melakukan hal yang sama terhadap hidupmu sekarang. Sin memang bukan wanita biasa, ternyata dia mampu merubah hidup kita, tentunya menjadi lebih baik.
“Dan, Sin. Kau harus percaya apa yang telah Kris katakan tadi. Kenyataan kalau dia bilang dia mencintaimu karena selama ini yang kulihat memang begitu, dan kau pasti tidak menyangka kalau Kris lebih memilihmu daripada aku. Mulai detik ini Kris milikmu seutuhnya, dan kau tidak perlu memikirkanku ataupun perasaanku. Aku telah bertekat untuk melupakan kenangan masa lalu dan memulai kembali kehidupan normal seperti saat bersamamu dulu, tapi kali ini bukan bersamamu lagi,” Lay tertawa kecil untuk dirinya sendiri. “Aku akan kembali ke Cina dan menjalani hidup normal bersama kedua orangtuaku dan juga saudara-saudaraku.”
“Tenang saja aku tidak akan melupakanmu,” lagi-lagi Lay mendahului Kris yang baru membuka mulut. “Aku tidak akan melupakanmu ataupun Sin. Kalian akan selalu ada di memoriku karena kalian adalah orang-orang yang mustahil untuk dilupakan. Oh ya, dan satu lagi.”
Kedua bola mataku melotot hampir keluar ketika Lay mendekat kearahku, ada suatu getaran aneh dari hatiku. Kakinya berhenti tepat satu jengkal di hadapanku, tangannya memegang kedua pundakku, dan matanya menatapku penuh arti. Sebelum berkata, Lay mengumbar senyum menawan yang pernah hilang dan baru kutemukan di detik-detik terakhir, “Honestly, you’ve got that something I need, more than love, more than everything. Only you have it. You’re so special and amazing, but I’m still losers.” Lalu Lay memelukku dengan erat sebagai salam perpisahan.
Aku membalas pelukkannya dengan erat, teringat saat-saat terkahir ketika Lay meninggalkanku beberapa tahun lalu dan mengatai dirinya sendiri sebagai pengecut. Ini benar-benar akhir kisah yang menyakitkan, lebih menyakitkan daripada mati. Di saat jalan keluar ditemukan, perasaanku malah menjadi bimbang, antara perasaanku terhadap Kris atau Lay. Pelukan ini seolah menghidupkan perasaanku yang dulu pernah ada. Sekarang giliranku menangis tersedu-sedu dipelukkan Lay.
Kemudian Lay memberi pelukan persahabatan untuk Kris. “Kali ini aku bersungguh-sungguh. Tidak ada lagi istilah cinta atau apapun untuk kembali menjadi manusia bodoh dan konyol. Dari dulu seharusnya kita sadar bahwa apa yang ada dalam diri kita hanyalah kasih sayang persahabatan, bukan kekonyolan yang telah berakhir. Kau telah mendapatkannya jadi jangan pernah coba-coba atau aku akan langsung merebutnya,” Lay melepaskan pelukkannya dan tersenyum kearahku, dan Kris tersedu-sedu lagi.
“Maafkan aku, dulu aku yang memaksamu dan aku….”
“Ssst…” Lay menghentikan Kris. “Semua sudah berlalu. Masa depanmu ada disampingmu,” Lay menarik tanganku dan menyatukannya dengan tangan Kris. “Kau bersalah di masa lalu, jadi perbaikilah di masa depan dengan orang yang telah banyak berkorban dihidupmu.”
Dengan berlalunya masa lalu Kris dan Lay, maka berlalu pula masa laluku bersama Lay. Yang dikatakan Lay memang benar, kami hidup dari masa lalu untuk masa depan. Hidup kami tidak akan menjadi lebih baik seandainya kami tidak pernah melakukan kesalahan. Masa lalu yang membuat kami belajar menjadi lebih baik, karena masa lalu yang akan mengingatkan bagaimana kesalahan itu terjadi sehingga tidak akan lagi terulang di masa yang akan datang.




[1] Yang tidak mudah dilupakan, yang mengesankan (bahasa latin)
[2] Apakah kau menyukanyainya –laki-laki
[3] Tentu saja
[4] Siapa ?
[5] Aku tidak tahu
[6] Aku menyayangimu
[7] Maafkan aku
[8] Lama tidak bertemu
[9] Tidak apa-apa
[10] Terima kasih
[11] Kau mau pergi kemana ?


Ini adalah karya terakhir kali saya dalam bulan Februari yang saya ikutkan lomba tapi gagal XD . It's oke. Masih ada kesempatan lain kan. I trust it. Hihihi.
Makasi buat teman-teman yang udah baca dan terima kasih buanyak kalau ada yang mau ngomentari cerpen saya yang entahlah saya tidak tahu yang bagaimana enaknya. Hehehe

Tidak ada komentar:

Posting Komentar